Libya Jadi Ajang Pertarungan Kepentingan Barat


Photo: Guardian.co.uk

Mencermati gejolak politik di Libya akhir akhir ini belum juga mencapai titik normal. Konflik yang bermula dari aksi demonstrasi masa di kawasan Libya Timur yang menuntut presiden Libya Muammar Khadafi agar mundur dari tampuk kekuasaanya telah menyebabkan masyarakat Libya terfragmentasi dalam dua kubu yakni kubu pro Khadafi dan kubu anti Khadafi.
Sementara dalam tubuh militer Libya sendiri juga terpolarisasi sebagian pro terhadap pemberontak Libya Timur, ada pula pro rezim Khadafi. Krisis politik di Libya juga telah mengundang perhatian Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa (Barat) untuk melakukan intervensi dengan mengalang pasukan koalisi yang di motori oleh AS, Perancis, Italia, Inggris dan Kanada.
Jalan bagi Pasukan koalisi ke Libya semakin mulus setelah mendapat mandat dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB) melalui resolusi no: 1973, yang menetapkan Zona larangan terbang (no fly zone) atas Libya. Tujuanya adalah untuk mencegah dan memastikan bahwa tidak ada pesawat atau helikopter rezim Khadafi bisa terbang untuk menembaki pasukan pemberontak atau massa anti Khadafi. 
Walau demikian, suara negara-negara Barat tidak bulat mengenai resolusi DK PBB dimana Jerman dan Rusia mengecam keras dan mengambil sikap untuk tidak terlibat dalam misi operasi militer tersebut. Melalui juru bicara Kementerian Pertahanan Jerman mengatakan, dua kapal Jerman dengan kekuatan 550 personil akan kembali ke negaranya. Dilaporkan pula, 60 hingga 70 tentara Jerman yang berpartisipasi dalam operasi NATO di Mediterania akan ditarik. Sementara di lain pihak Rusia juga mengeluarkan peryataan politik melalui Menteri Luar Negerinya, Sergei Lavrov menyatakan akan mengkaji ulang penerapan resolusi Dewan Keamanan PBB No.1973, seraya menegaskan tanggung jawab berat membela rakyat Libya. 
Misi operasi militer ini adalah untuk melindungi rakyat sipil dari serangan militer Khadafi. Akan tetapi dalam implementasinya, operasi pasukan koalisi Barat di bawah pimpinan perancis itu telah melenceng dari koridor yang dimandatkan oleh DK PBB, karena Zona larangan terbang (No Fly Zone) tersebut telah digunakan oleh pasukan koalisi Barat untuk melakukan penyerangan sehingga yang menjadi korban adalah orang-orang sipil baik orang tua maupun anak-anak kecil yang semakin hari berjatuhan bersimpah darah. Sungguh ironis, orang sipil yang tidak tahu menahu kenapa harus turut menjadi tumbal dari orang-orang yang lebih mementingkan kepentingan dan hegemoni globalnya sendiri.

Hubungan Libya dan Barat Pasca 11 September 2001

Jika kita melihat hubungan Libya dengan AS pasca mega teror 11 september 2001, sebenarnya sudah relatif membaik sejak Khadafi mengeluarkan kebijakan untuk mendukung AS dalam perang melawan terorisme (war on terorism). Kebijakan Khadafi ini di sambut baik oleh AS, karena sebelumnya Libya di cap sebagai negara poros setan (exis of evil) bersama Iran, Irak dan Korea Utara. Negara-negara ini dalam versi AS adalah negara-negara pembangkang yang harus segera diatasi karena jika dibiarkan akan mengancam kepentingan nasional AS. Rupanya ini bukan hanya gertakan belaka melainkan diwujukan dalam tindakan militer
Buktinya, Rezim Saddam Husein dan Rezim Taliban di Afganistan yang dibawah kepemimpinan Mullah Omar telah berhasil digulingkan dengan alasan bahwa Taliban melidungi tokoh utama teroris Osama Bin Laden, sementara Irak dituding memiliki senjata Nuklir. Tapi kenyataanya tuduhan yang dialamatkan kepada kedua negara hanya omong kosong belaka dan hanya merupakan instrumen agar AS dan Barat bisa mendapatkan Legitimasi dari DK PBB dan juga dukungan dari masyarakat internasional.
Melihat sikap politik Khadafi yang mendukung AS dalam memerangi terorisme internasional, maka lantas, AS segera mencoret nama Libya dari daftar hitam (black list). Hal itu memberikan sinyal positif bagi Libya untuk membuka lembaran baru dengan AS yang sebelumnya hubungan kedua negara di liputi ketegangan. Hasilnya, kanal kerja samapun di buka oleh kedua belah pihak. Libya dan AS melakukan transaksi militer dan sejak pemulihan hubungan itu, Tripoli sangat tertarik untuk membeli perlengkapan militer AS.
Sementara di lain pihak negara-negara Eropa juga ingin menjalin Hubungan kerja sama dengan Libya yang kemudian di realisasikan dengan masuknya investasi negara-negara Eropa dalam sumber energi minyak di Libya. Hubungan kerja sama itu juga dilandasi dengan prinsip saling menguntungkan satu sama lain, dimana semua ingin mendapatkan jatah kue perdagangan yang adil dari eksport-import maupun dalam investasi.
Sesungguhnya hal ini merupakan wujud dari perubahan sikap politik luar negeri yang bersifat akomodatif terhadap negara-negara Barat khususnya Eropa dan AS. Buahnya, negara-negara Eropa dan AS mendapatkan pasokan minyak dan gas. Sementara Libya memperoleh alutsista dari negara-negara Eropa. Hubungan ini semakin erat dan mesra seperti pengantin yang sedang berbulan madu. Tapi sayang, hubungan ini tidak dapat bertahan lama dan harus berakhir dengan tragis karena adanya benturan kepentingan diantara Libya dan patner kerjanya yaitu AS dan Eropa. Sehingga mengakibatkan Libya menjadi sasaran koalisi pasukan Barat. Karena ada agenda kepentingan lain yang lebih diprioritaskan oleh AS dan Eropa yaitu mempertahankan kepentingan ekonominya yang berkaitan dengan perusahan-perusahan mereka yang bercokol di Libya. Karena konflik politik internal di libya akan berdampak langsung pada penghancuran dan perusakan terhadap perusahan-perusahan Barat di Libya. Dalam intervensi kali ini, AS dan Barat bertopeng dibawah panji kemanusiaan yang merupakan sebuah kamuflase untuk melindungi dan mempertahankan kepentinganya.
Dalam hal ini kepetingan nasional menjadi pilar utama yang harus diperjuangkan demi sebuah kekuasaan (power).Sebagaimana yang dikatakan oleh Machavelli bahwa segala cara bisa dihalalkan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Dan seorang penguasa bisa menjadi singa satu saat, dan menjadi rubah di saat lainya. Dengan cara itulah Ia bisa mengalahkan lawanya.(Ahmad Suhelmi, 2004). Teori ini terkesan mengambarkan bahwa kebaikan dan kejahatan adalah ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain sehingga dalam politik berlaku sebuah adagium bahwa tidak ada teman maupun musuh yang abadi yang ada hanya kepentingan semata.
Sementara Yasraf Amir Pilliang dalam bukunya Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial (2003) menyatakan bahwa politik tak ubahnya seperti fenomena ­perusahan-perusahan, yang menanamkan modal politik (Political Capital) seperti (pembantaian, penjarahan, teror dan provokasi) untuk di pertukarkan dalam sebuah pasar politik (Political Market) untuk mendapatkan keuntungan politik (Political Profit) berupa pengaruh, kekuasaan, kursi, kedudukan dan wilayah.
Pendapat ini dapat mengambarkan konstalasi politik di Libya, yang mana masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik Libya mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Rezim Khadafi yang sudah berkuasa selama 42 tahun, ingin tetap mempertahankan kursi empuk kekuasaanya dengan melakukan tindakan represif terhadap massa anti Khadafi dengan alasan untuk menjaga stabilitas keamanan dalam negeri Libya. sementara massa anti khadafi yang berbasis di kota Benghazi menginginkan agar kediktatoran Khadafi segera di akhiri dengan membentuk pemerintahan baru yang demokratis.
Di lain sisi, AS dan Eropa melihat Libya sebagai sebuah negara yang kaya dengan sumber daya minyak sehingga AS dan Eropa berambisi ingin menguasainya. Akibatnya, rakyat libyalah yang menjadi korban sasaran rudal-rudal dari pasukan koalisi maupun dari militer Libya sendiri. Jadi siapa yang mengambil keuntungan politik dalam perang ini? Jawabanya adalah sangat sederhana bahwa pihak Baratlah yang lebih diuntungkan karena rakyat Libya sendirilah yang menjadi obyek dari perang ini.

Kepentingan Barat di Libya

Motif kepentingan negara-negara Eropa dan AS di balik penyerangan terhadap Libya, sebenarnya bukan rahasia umum lagi karena ujung-ujungnya adalah negara-negara barat ingin menguasai sumber Minyak, Gas dan Emas hitam di Libya. Karena negeri ini kaya dengan cadangan minyak mentah. Namun diantara koalisi Barat sendiri ada rivalitas sehubungan dengan pendistribusian pasokan minyak dan investasi di Libya. Kepentingan negara-negara Eropa berbeda-beda. Perancis sebagai pendorong intervensi, mempunyai agenda yang pada kenyataannya hendak menyingkirkan negara-negara Eropa lainnya di Libia (terdapat interest politik intra-kawasan), karena Italia yang lebih banyak mendapat jatah kue perdagangan baik dalam investasi besar maupun pendistribusian pasokan minyak. Sehingga pada tahun 2009, Khadafi melakukan kunjungan ke Italia untuk mempererat hubungan Tripoli dengan Italia. Dalam kesempatan itu Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi: menyatakan bahwa "kerjasama antara kami bisa terus berkembang. Gas dan minyak bumi terbaik dari Libya akan terus mengalir ke Italia. Selain itu, dalam berbagai investasi besar dan pembangunan yang akan dilakukan oleh Libya, kami akan bisa berpartisipasi aktif“.
Lain halnya dengan Inggris, walaupun mendukung Perancis dalam kasus Intervensi di Libya, kepentingan Nasional Inggris berbeda dengan Perancis. Inggris memiliki agenda politik tersendiri yaitu ingin menyingkirkan dominasi China di Libya. Karena perusahan-perusahan yang mengeksplorasi minyak di Libya bukan dari British Petroleum tetapi dari perusahan-perusahan China. Sementara keterlibatan Amerika Serikat dalam koalisi ini bukan sebagai aktor utama tapi hanya sebatas mendukung. Sebab, Amerika masih memiliki beban di Afghanistan, Irak dan Korea Selatan.
Jadi, momentum ini dimaanfatkan oleh Perancis untuk mendongkrak pamornya (prestice) sebagai pemimpin koalisi Barat. Tujuanya adalah agar posisi perancis tidak dipandang lemah di dunia internasional atau oleh rival-rivalnya sekaligus Mengespos bahwa sang Pemimpin mempunyai kemampuan dan kebijaksanaan khusus dalam mengelola keamanan national dan status internasional. Dalam hal ini Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy merupakan tokoh sentral dalam misi di Libya. Pemerintahan Sarkozy sengaja mengalihkan perhatian publik dari masalah domestik yang pelik, sebab kaum oposan di perancis banyak yang tidak mendukung kebijakan Sarkozy. Misalnya, kebijakan larangan terhadap kaum muslim di Perancis memakai jilbab di sekolah maupun di kantor. Dari sini kita dapat melihat bahwa kekuasaan Sarkozy di pertarungkan dalam misi operasi ini. Jika misi ini tidak berhasil maka dukungan rakyat terhadap Sarkozy akan semakin surut dan akan berdampak pada pencalonan kembali dirinya sebagai presiden pada pemilu 2012.

Penutup

Meskipun ada benturan kepentingan yang berbeda beda di antara koalisi Barat namun pada hakekatnya negara-negara Eropa ingin melindungi kepentingan nasional mereka di Libya. sebab bila konflik yang terjadi di Libya di biarkan terus berlanjut maka dampak yang paling dirasakan ialah pasokan Energi (Minyak dan Gas) negara-negara Eropa dari Libia terhambat, tidak hanya Pasokan energi yang terancam, Investasi Perusahaan energi (yang notabene dari negara-negara Eropa) pun turut terancam dengan adanya konflik di Libia tersebut
Hal ini Dikarenakan sarana-sarana infrastruktur yang menunjang ekspor energi Libia menjadi ajang pertempuran oleh kedua kubu yang berseteru. Akibat berlarut-larutnya konflik di Libia yang dapat mengancam pasokan energi negara-negara Eropa. Dan misi untuk melindungi rakyat Libya dari kekejaman rezim diktator Moammar Khadafi hanya merupakan issu katalis yang digunakan oleh Barat untuk mendapatkan legitimasi dari DK PBB. Jadi, Barat ibaratnya malaikat yang berwajah iblis. Di satu sisi menjujung tinggi hak asasi manusia (HAM) tapi sisi lain memperkosa nilai-nilai HAM itu sendiri dengan menghancurkan kemanusiaan demi mengeruk sumber kekayaan minyak di Libya. 
































































Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Keri Laran Sabalae” Nia Istória Luta

Pesona Indah Pulau Jaco

Sebuah Catatan Perjalanan ke Pulau Atauro