H.M. Misbach: Kisah Haji Merah


Judul                : H.M. Misbach: Kisah Haji Merah
Penulis             : Nor Hiqmah
Penerbit           : Komunitas Bambu, Jakarta 
Tahun Cetak   : 2008 
Tebal                : xiv-119 hlm

“Islam yang sejati adalah Islam yang mengakui kebenaran dari ajaran komunis karena kedua ideologi itu memiliki tujuan yang sama, yaitu pembebasan manusia dari ketertindasan. Hal yang sama juga sebaliknya. Orang yang mengkalim dirinya sebagai komunis harus mengakui Islam  sebagai suatu nilai yang memiliki kebenaran hakiki.”(H.M. Misbach)


Haji Mohammad Misbach adalah seorang Mubalig[i] yang berpendidikan pesantren. Nama julukanya Haji Merah. Ia dikenal sebagai haji revolusioner yang banyak mengupas persamaan antara Islam dan Komunis di surat kabar Medan Moeslimin yang dipimpinya. Haji Misbach juga aktif terlibat dalam gerakan anti pemerintah kolonial Belanda secara radikal.

Misbach lahir tahun 1876 di Kauman, Surakarta. Ketika masih kecil ia bernama Ahcmad. Namun setelah menikah, ia berganti nama menjadi Darmodipromo dan akhirnya, sesudah menunaikan ibadah haji, ia mengunakan nama Mohammad Misbach. Selain mendapat pendidikan pesantren, Misbach juga sempat mengenyam pendidikan di sekolah Bumi Putra Pemerintah selama delapan bulan.

Setelah dewasa, Misbach sempat mengeluti usaha dagan batik. Namun karena wataknya yang revolusioner dan senang berorganisasi, akhirnya Misbach meninggalkan usaha batiknya dan mulai mengeluti dunia intelektual. Ia masuk menjadi anggota IJB (Inlandshe Journalisten Bond) dan kemudian bergabung dengan Serikat Islam (SI). Ia juga memepolori penerbitan surat kabar Medan Moeslimin dan Islam Bergerak yang di jadikan sebagai media propoganda untuk melawan kolonialisme Belanda.

Misbach dalam pandanganya mengambarkan tentang terbelenggunya Rakyat Indonesia pada zaman itu di sebabkan karena kapitalisme dan imperalisme. Menurutnya, kapitalisme dan imperalisme mengunakan tipu muslihat dengan jalan memfitnah, menindas, menghisap, dan mengeksploitasi umat manusia. Oleh karena itu, kapitalisme diharamkan keberadaanya di dunia dan umat Islam bertugas untuk menghapuskanya. Bagi Misbach, kapitalisme itu musuh bersama bagi Umat Islam maupun kaum Komunis. Sebab itu Islam dan komunisme harus bersatu dalam pergerakan menghantam kolonialisme Belanda yang berwatak kapitalis.

Walau demikian, gagasan Misbach untuk mempersatukan Islam dan Komunisme itu menimbulkan pertentangan dari Serikat Islam Muhammadiyah (Kaum Putihan) yang beranggapan bahwa komunis bertentangan dengan agama dan menilai komunisme sebagai agama baru. Apa kata Misbach dalam menangapi kritikan kaum putihan? Dalam buku ini, Misbach menjawab bahwa pandangan itu keliru. Sebab sikap kaum putihan itu akan menghalangi kaum agama yang akan masuk dalam pergerakan komunisme untuk melawan sistem kolonial dan kapitalis. Sebaliknya, sikap itu juga akan menghalangi kaum pergerakan komunis untuk masuk ke dalam agama.

Dalam pandangan Misbach, paham Islam dan Komunisme tidak bertentangan tapi saling melengkapi satu sama lain. Menurutnya, siapapun yang menegakan agama wajib pula untuk masuk dalam pergerakan dan melawan sistem kapitalisme karena sistem kapitalisme membuat manusia tertindas dengan ketamakan dan menghamba pada materi sehingga menjauhkan manusia dari agama.

Menurut Misbach, ada persamaan antara Islam dan Komunisme. Islam menanam bibit persamaan, persaudaraan, perikemanusiaan, perikeadilan serta kerja sama dalam tolong menolong yang juga di kehendaki oleh sosialisme. Maka pada hakekatnya Islam juga menuntut pelaksanaan sosialisme itu. Misbach mengakui bahwa Komunismelah yang mengajarkan kepada kita untuk melawan kapitalisme dan oleh karenanya ada dalam Islam.

Baik Islam maupun Komunisme sebagai ideologi yang dijadikan pedoman oleh manusia dalam mencari jalan menuju keselamatan dan kesejahteraan. Islam mempunyai tradisi membela mereka yang tertindas atau terdzalimi sementara Maxisme juga memiliki  paham yang sama yakni menolak kapitalisme, menolak kelas-kelas dalam masyarakat menolak eksploitasi negara, spesialisasi penumpukan kekayaan dan menolak perbudakan manusia yakni merusak sifat esensial manusia

Misbach menganggap komunisme benar-benar ingin memperjuangkan nasibnya kaum Kromo, kaum lemah dan kaum tertindas. Islam sendiri juga mengajurkan hal seperti itu untuk menolong orang-orang yang lemah. Dengan begitu, menurut Misbach, orang yang mengaku Islam atau partai-partai yang mengaku berasas Islam, tapi menghalang-halangi rakyat untuk masuk dalam pergerakan politik adalah munafik. Adapun sikap munafik itu dekat sekali dengan kafir, yaitu orang yang tidak percaya dengan perintah agama.

Dalam konteks perjuangan melawan kolonialisme Belanda, Misbach melihat organisasi-organisasi yang ada pada saat itu umumnya tidak dapat menampung aspirasi dan memperjuangkan keadilan bagi kaum jelata. Organisasi Islam terutama SI Tjokrominoto dan Muhammadiyah dianggap mandul dan bersikap kooperatif dengan pemerintah. Justru organisasi Komunislah yang mampu bersikap radikal dan anti kooperatif dengan pemerintah kolonial. Sehingga pada 1922, Misbach keluar dari Muhammadiyah dan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Misbach muncul sebagai Propogandis PKI/SI Merah.[ii] Misbach menganggap PKI sebagai wadah perjuangan yang sesuai dengan cita-citanya.

Upaya Misbach untuk menyatukan Islam dan komunisme merupakan sintesis untuk menjawab persoalan kolonialisme dan kapitalisme Belanda dalam masyarakat pada waktu itu karena Islam dan komunisme menekankan pada ajaran untuk melenyapkan kapitalisme sebagai biang kerok kemiskinan dan kesengsaraan rakyat. Hal inilah menjadi dasar religiusitas Misbach. Religuisitas yang di bangun berdasarkan permasalahan dan akar sosial masyarakat pada saat itu. Dengan meyakini kesadaran seperti ini, seorang seperti Misbach dapat berdiri dengan teguh, tegar dan tanpa takut. Ia meyakini penentangan dirinya terhadap segala bentuk penindasan, penghisapan, ataupun segala bentuk ketidakadilan sebagai wujud ketakwaanya pada perintah Allah.

Jika menelisik perkembangan kontemporer, nampak jelas bahwa gagasan Haji Misbach teryata mirip dengan gagasan Teologi keadilan sosial Islam di masa kini. Walau konteks dan zaman ketika Haji Misbach hidup jauh berbeda dengan kondisi masa kini, akan tetapi masalah-masalah yang di hadapi oleh rakyat dan umat Islam di zaman Misbach hingga sekarang relatif sama, yaitu soal kemiskinan dan kekuasaan yang anti rakyat dan anti umat yang mewujud dalam bentuk neoliberalisme.

Catatan:
[i] Makna dari kata Mubalig menurut Hoetomo dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2005 diartikan sebagai: Penganjur atau penantar dalam salat yang menyampaikan takbir; orang yang menyairkan agama Islam.
[ii] Organisasi Serikat Dagan Islam lahir pada awal 1912, pada perkembanganya berganti nama menjadi Serikat Islam  (SI). Organisasi ini di ketuai oleh Samanhoedi dengan wakil ketua Tjokroaminoto. Namun  karena adanya konflik internal akhirnya SI pecah menjadi dua yaitu: SI Tjokroaminoto (SI Putih) dan SI Simaoen (SI Merah) yang berafiliasi ke PKI.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Keri Laran Sabalae” Nia Istória Luta

Pesona Indah Pulau Jaco

Sebuah Catatan Perjalanan ke Pulau Atauro