Catatan Perjalanan: Bandung-Jakarta-Kupang-Timor Leste

Ilustrasi photo: pixabay.com

I
Aku terpaksa pulang kembali  ke negaraku Timor Leste karena permohonan ijin belajar-ku untuk tinggal di Indonesia tidak bisa diperpanjang lagi oleh Direktorat Kelembagaan Tinggi Pendidikan Indonesia (DIKTI). Dan aku juga menerima kiriman surat dari Kedutaan Besar Republica Democratica de Timor Leste (RDTL) di Jakarta yang isinya: mengatakan bahwa:

..."Dokumen saudara di kembalikan (di tolak) oleh Kemdiknas dengan alasan masa berlaku Kitas kurang dari 60 hari (2 bulan)/ Kitas expire: 30 September 2011, sementara proses pengurusan ijin belajar di Kemdiknas membutuhkan waktu 1,5 (satu-lima) sampai dengan dua (2) bulan. Sehubungan dengan hal tersebut, saudara dianjurkan untuk memohon ijin sementara (Exit Permit Only) ke Timor Leste dan masuk kembali dengan visa baru sehingga mempermudah proses pengurusan ijin belajar dan Kitas." 
Demikian bunyi surat dari Kedutaan Besar RDTL di Jakarta. Jadi, sebelum visaku expired pada  tangal 30 September 2011, aku harus angkat kaki dari Indonesia. Dan akhirnya pada tanggal 28 September aku berangkat dari Bandung menuju Jakarta dengan Travel Jurusan: “Bandung-Jakarta”.  Tepat pukul 07.00 Travel yang aku tumpangi tiba di bandara Soekarno Hatta. Tanpa menunggu waktu lama aku langsung  menuju gate A1  : penerbangan Air Lion untuk cheking,  karena 2 jam sebelum keberangkatan semua penumpang Air Lion dengan rute Jakarta-Kupang diwajibkan sudah harus cheking.
Di loket cheking, aku menunjukan Tiket penerbangan  rute Jakarta-Kupang kepada petugas bagian cheking. Namun petugas itu memintaku untuk menunjukan pasportku, lalu aku memberikan passportku padanya. Sejenak petugas itu melihat dan membolak balik passportku dan memberikanya kembali padaku.
Cheking telah selesai, kemudian akupun masuk ke tempat dimana para penumpang sedang menunggu pesawat rute Jakarta- Kupang. Dan Tepat pukul 09.45, pesawat Air Lion yang aku tumpangi tinggal landas (take off) dari bandara Soekarno  Hatta dan mendarat di bandara El- Tari,Kupang, pada pukul: 14.15. Akupun mulai berkemas untuk turun dari pesawat sambil ku nyalakan ponsel-ku. Tiba-tiba ponsel-ku berdering. Merry is calling……..lalu aku mengangkat ponselku.
“Hallo”…sapa-ku.
“ Kak su dimana.”? Suara Merry dengan logat Kupangnya  yang sangat kental.
“Aku masih dalam pesawat, sebentar lagi aku turun”. Jawabku.
“ Ya, aku tunggu”. Sahutnya.
“Ok.” Balasku.
Merry adalah orang yang akan menjemputku di Bandara El-Tari, Kupang, tapi aku sendiri belum mengenalnya dan aku cuma memiliki nomor ponselnya yang di berikan oleh teman kampus-ku di Bandung,  agar kalau aku tiba di Kupang, aku kontak dia untuk  menjemput-ku, sehingga sebelum aku berangkat dari Bandung aku sudah menghubunginya dan meminta kesedianya untuk menjemputku di Bandara El-Tari, dan diapun mengatakan keinginanya untuk menungguku di Bandara El-Tari, Kupang.
Dalam pesawat Air Lion, para penumpang saling berdesakan untuk segera turun. Akupun berada di tengah para penumpang yang sedang antrian  untuk turun dari pesawat. Akhirnya aku turun bersama dengan para penumpang lainya. Kami berjalan beriringan menuju gedung bandara. Dari kejauhan  aku melihat  kerumunan orang  berdiri berderet-deret untuk menunggu para penumpang yang baru turun dari pesawat.
Dalam hatiku berkata, barangkali perempuan yang bernama Merry juga berada diantara kerumunan orang  yang berdiri di bawah atap gedung bandara. Ketika aku sampai di gedung bandara, aku mencoba mencari sebuah wajah perempuan yang bernama Merry.  Namun aku tidak  menemukan wajah itu. Lalu aku keluar dari gedung bandara. Barangkali Merry menungguku di depan pintu keluar , tapi aku tetap tidak menemukan sosok perempuan itu, sehingga  Aku mengeluarkan ponselku untuk menghubunginya. Sebelum aku mengontaknya, Merry sudah lebih dulu mengontak-ku.
 “Kak dimana?” dan kak pake baju warna apa”?
 “ Aku sudah di depang pintu keluar, aku pake baju warna hitam”. Jawabku.
“Apakah rambut ka panjang”?.
 “Ya, sedikit gondrong.”
“Aku kesana sekarang”. Balasnya.
Tak lama kemudian aku melihat seorang perempuan sedang melangkah menghampiriku. Aku mencoba menebak. Barangkali dia adalah Merry. Teryata tebakan-ku tidak salah. Dia adalah Merry.
“Kamu ya”. Sapa-nya lembut.
“ ya, benar, ini aku.” Jawabku singkat.
Lalu ia mengulurkan tanganya padaku sambil berkata:
“Merry…”
“Silio..”. Sahutku.
“Yoo, ikut aku sekarang. Kita ke tempat kerja-ku sebentar.” Ajak-nya.
Dengan langkah yang sedikit sempoyongan aku mengikuti Merry dari belakang. Kami berjalan melewati beberapa koridor dari Gedung bandara El-Tari. Akhirnya kami sampai di depan sebuah ruangan kecil. Ruangan itu adalah tempat Merry bekerja.  Aku melihat Merry  mulai membuka pintu ruangan dan memintaku masuk sambil mengeserkan sebuah kursi mungil untuk-ku layaknya orang sedang menerima tamu di rumahnya. Dia cukup ramah. Tutur katanya lembut. Dan lebih dari itu, dia  cantik, manis dan feminim.
“Silahkan duduk.” Pinta-nya.
“Ma...kasih.” kataku sambil menghempaskan tubuhku di kursi empuk.
Sejenak kami membatin. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut kami. Kami hanya larut dalam pikiran masing-masing. Akhirnya aku mendengar sebuah suara lepas juga dari dari bibirnya memecahkan kebekuan.
  “ Kalau boleh aku tau, ka kerja atau kuliah.?”
“kuliah.” Jawabku.
“Sudah semester berapa.?”
“Tujuh.” Singkatku.
“ooowww… berarti kuliahnya su mau selesai.”
“Hmm.”
 “Ka, berapa hari disini.”?
“Cuma semalam.”
“Trus ntar nginap dimana.”?
“ Di Timor Travel. Disana ada penginapan kecil buat orang yang ingin melakukan perjalanan ke Timor Leste. ”
“Emang ka gak punya family disini .”?
“ Ya.benar..” Gumam-ku.
Jarum jam di diding terus berputar. Detik demi detik kami lewati dengan percakapan ringan.Tak terasa waktu telah menunjukan pukul 15.30.  Aku meminta Merry mencari transport yang bisa  membawa aku ke tempat penginapan Timor Travel. Kemudian Iapun menelpon salah seorang temanya untuk mengantarku ke penginapan Timor Travel. Tak lama kemudian temanya itu datang lalu Merrypun berkata:
“Itu ojeknya su datang.”? Kata merry, sambil tanganya menunjuk ke arah ojek yang sedang parkir di tempat parkiran motor.“ Jangan khawatir dia akan membawamu ke tempat penginapan Timor Travel. Ongkosnya cuma 20.000 ribu rupiah” Sambungnya. “ Ok. Ma kasih banyak atas bantuanmu.” Hanya kalimat itu yang dapat ku ucapkan kepada Merry.
Sebenarnya aku punya family di Kupang, tapi aku  tidak memberitahukan hal itu kepada Merry. Jujur aku tidak bermaksud untuk membohongi Merry, tapi hanya karena aku tidak ingin merepotkan mereka sehingga aku tidak bisa memberitahukan kepada family-ku atas kedatanganku di Kupang. Jadi,  kepada Merry aku mengatakan bahwa aku tidak punya family di Kupang. Namun tetap saja aku merepotkan orang lain dan orang itu adalah sosok perempuan yang bernama Merry. Oleh karena itu melalui catatan ini, aku ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga dan permintaan maaf-ku kepadanya karena aku telah mengusik dan menyita waktunya. 
Jarak dari bandara menuju tempat penginapan Timor travel hanya membutuhkan 15 menit. Dan Ketika aku sampai di agen Timor Travel, aku langsung memesan Tiket Kupang-Timor Leste sekaligus memesan kamar buat menginap. Akhirnya aku menginap semalam di Kupang. Semalam aku tidak bisa tidur. Aku merindukan ayah, ibu, adik-adik serta keponakan-keponakanku yang nakal dan lucu-lucu yang barangkali tak sabar menunggu kedatanganku. Aku ingin segera meluapkan kerinduanku pada mereka dengan memeluk mereka. Dan mengendong keponakan-keponakanku, Ivan Sorotmalay, Jessy Payasorot dan Jhony Jesorot. Tak ketinggalan kawan-kawan seperjuanganku.
Pukul 08.00 pagi, aku melanjutkan perjalananku ke Timor Leste. Perjalanan ini cukup melelahkan karena jarak antara Kupang-Timor Leste cukup jauh. Walau aku merasa mengantuk karena semalam suntuk sampai pagi, tapi aku mencoba menahan rasa kantuk-ku agar aku bisa mengamati panorama Kupang yang terkenal dengan sebutan kota karang. Aku tidak ingin membiarkan momen seperti ini berlalu begitu saja.
Di setiap ruas jalan tampak anak-anak sekolah yang beseragam SD, SMP, SMU berdiri di pingiran jalan yang barangkali sedang menunggu Angkutan kota (Angkot). Mobil yang aku tumpangi terus melaju dan di Balik jendela kaca mobil mataku hampir tidak berkedip, mengamati panaroma Kupang yang indah. Sementara di beranda rumah-rumah penduduk, terlihat mereka asyik meneguk kopi hangat sambil mereka berceloteh dan bercanda tawa. Sungguh damai mereka.
II 
Akhirnya aku bisa berkumpul  kembali lagi dengan keluargaku walau hanya dalam waktu yang singkat. Kerinduanku yang selama satu setengah tahun dalam pengasingan sudah dapat terobati. Aku rindu tanah airku, Timor Leste, aku rindu ayah, ibu, adik-adik, keponakan-keponakanku dan juga kawan-kawanku semua. Euphoria kebahagian ini tak bisa di lukiskan dengan kata-kata.
Selama dua minggu di Timor Leste,  aku hanya disibukan dengan urusan Visaku sehingga aku tak punya waktu untuk bisa bertemu dengan semua  kawan-kawanku. Dari sekian banyak kawan-kawanku, aku hanya bisa bertemu dengan beberapa orang salah satunya adalah kawan terbaik-ku Grinaldo(Kiki).  Dia adalah seorang seniman muda Timor Leste yang karir seninya sedang melonjak. Ketika aku mengontaknya bahwa aku sudah berada di Timor Leste, sontak iapun ingin segera bertemu denganku. Dan Kami bertemu di sanggarnya Arte Moris.
Pertemuan itu sungguh mengharukan antara dua orang kawan yang sudah satu setengah tahun berpisah. Kami larut dalam dekapan yang sangat lama sebagai wujud dari kerinduan kami. Dalam kesempatan itu kami gunakan untuk berdiskusi seputar seni khusunya seni lukis yang sudah hampir 6 tahun ia geluti. Ketika aku bertanya bahwa “apakah seni itu hanya mengupas hal-hal indah”? tapi dia menjawab dengan sangat plastis bahwa “seni tidak hanya mengupas hal-hal indah akan tetapi seni itu sendiri juga bisa membuka sisi buruknya. Itulah seni.” 
Kami berbincang seputar seni lukis tapi sedikit diselingi dengan isu-isu politik politik domestik di Timor Leste menjelang pemilu presiden dan pemilu legislative yang membuat skalasi politik sedikit tinggi. Suasana di ruang sanggar begitu familiar. Kami habiskan waktu 4 jam hanya untuk berbincang sambil melepas kerinduan kami. Aku juga mengunakan kesempatan itu untuk melihat karya lukisan-lukisan dan sajak-sajak pendeknya yang terpajang di setiap sudut dinding sanggarnya.
Sungguh indah dan menarik lukisan-lukisanya. Ku lihat hampir semua lukisanya mengankat hal-hal yang berbau kebudayaan. Dari bentuk lukisan itu, ada yang berukuran kecil, sedang, dan juga besar. Harga rata-rata lukisanya berkisar dari $200 USD sampai $800 USD. Aku sangat terharu karena dia  sudah menjadi seorang seniman yang hebat. Aku ingat ketika kami masih sama-sasa kuliah di Universitas Dili (UNDIL) almamaterku sebelum aku kuliah di Universitas Jenderal Ahcmad Yani (UNJANI, Cimahi-Bandung.
Kala itu aku meminta dia untuk melukis sosok perempuan yang ku kagumi di Kampus UNDIL, yang kebetulan perempuan yang ku kagumi setengah mati itu sedang duduk dalam kelas. Dan perempuan itu tidak tahu kalau dirinya menjadi objek yang indah untuk di lukis. Tapi, sayangnya sebelum lukisanya selesai, perempuan itu keburu tahu dan malu kalau dirinya sedang di lukis sehingga perempuan itu keluar dari kelas dan sketsa wajahnya yang di lukis oleh Kiki tidak sempurna.
Dia hanya bisa melukis wajah perempuan itu. Walau gambarnya tidak sempurna namun aku tetap memberika aplaus padanya, karena kecepatan teknik melukisnya yang cukup jitu. Tapi sekarang, dia sudah luar biasa hebat. Kuasnya sudah bisa menari di atas kanvas putih dengan polesan warna-warna yang penuh makna dan arti. Dia bahkan sudah mengelar pameran lukisan di beberapa negara yaitu Australia dan Swiss.  
Setelah mataku menyapu bersih setiap lukisan yang terpajang di setiap dinding, aku kembali mengalihkan pandanganku ke sajak-sajak pendeknya dan mencoba mencerna makna yang tersirat dalam setiap sajak-sajak pendeknya itu, namun sulit bagiku untuk mengetahui arti dari baris-baris sajaknya. Satu sajaknya yang sempat menjadi titik perhatianku adalah sajaknya yang ia tulis dalam bahasa tetum berbunyi “ KUDA MAIBE MATE. HAKOI MAIBE MORIS” sebuah sajak pendek tapi penuh makna.
Haripun menjelang sore dan aku mengajaknya untuk mampir ke tempat kafe yang dulunya aku dan dia yang memberi nama  KAFE POPULAR, tempat kedai kopi yang biasa menjadi tempat nongkron kami kalau sudah pulang dari kampus.  Akhirnya kamipun kesana. Tempat kedai kopi itu masih seperti dulu tapi sudah sedikit di perbesar. Pelayan-pelayanya juga masih wajah-wajah yang dulu. Di kedai kopi itu kami kembali melanjutkan perbincangan kami sambil menikmati kopi hangat dan pisang goreng. Akhirnya kamipun mengakhiri perbincangan, karena hari menjelang malam. 
III 
Udara dingin terasa sedikit menyengat. Begitulah iklim kota Dili pada malam hari. Malam itu, suasana di pesisir pantai kelapa begitu ramai dengan para pengunjung yang sekedar datang untuk mencicipi ayam bakar sambil menikmati sentuhan angin pantai. Di pinggiran pantai itu juga ada deretan night klub, diskotek dan pub malam yang hampir setiap malam minggu di padati oleh bule-bule dari  berbagai Negara. Remang –remang lampu bar-pun mewarnai  kepekatan malam yang di iringi dengan Irama lagu Kizomba ala Latin. Di bawah atap tenda kecil, aku mencoba mengamati setiap lekuk gerak yang di peragakan oleh (bule-bule). Meraka  berdansa, menari, berteriak dan berjingkrak-jingkrak sambil mulut mereka saling berpagutan.
Sungguh, Pemandangan itu telah membawa aku ke dalam sebuah lamunan yang panjang. Dalam benak-ku berpikir bahwa adengan-adengan transparan seperti itu, lambat laun akan mempengaruhi dan merusak moral dan mentalitas kaum muda Timor Leste, karena hal itu sangat bertentangan dengan Budaya asli orang Timor Leste. Harus di akui bahwa meman saat ini, moral kaum remaja menjadi rawan dan ahklaknya menjadi guncang karena telah terbius hedois medan kesenangan sesaat, atau mereka yang mengusung kebebasan tanpa melirik norma susila.
Anehnya meskipun sebagian remaja mengetahui bahwa kehidupan malam ataupun dugem (dunia gemerlap) merupakan dunia yang membawa kegelapan, tapi mereka tetap saja pergi kesana dengan segudang alasan. Refresing, menghilangkan stress, bertemu teman lama, sekedar minum-minum dan lain sebagainya, semua itu sebenarnya bisa saja di lakukan di tempat yang lebih sejuk dan tidak mengundang maksiat. Aku larut dalam dunia hayalku sendiri sehingga tiba-tiba aku sadarkan oleh suara Rianku Humbelino Pereira.
“Silio, minumanmu masih utuh,  habisin tuh minumanya”.  Pintanya.
“ Emang silio, mikirin apa” ? sambungnya lagi.
“ ohhh .. tidak. Aku Cuma larut melihat  suasana malam ini.” Jawabku seadanya sambil ku raih minumanku yang baru setengah ku minum. Sementara, mereka sudah menghabiskan dua kaleng.
Walau kami berempat berada dalam satu atap tenda yang sama,  tapi,  pikiranku tidak bersama mereka.  mereka bercakap dan berkelakar sambil tertawa terbahak-bahak sementara pikiranku terbang menyusup masuk ke night club yang berada sekitar 25 meter dari tempat dimana kami duduk. Di bawah atap tenda kecil itu, ada Rianku Humbelino, Akolly, Lusio dan aku sendiri. Aku baru sadar bahwa dari tadi aku tidak bisa mengikuti alur cerita yang di ceritakan oleh saudaraku Akolly.
“ Pitinumalay, jangan hanya diam. ngmon donk..”. kata Akolly.
Perasaan senang menghingapi seluruh tubuhku karena baru kali ini ada orang menyebut nama Asliku Pitinumalay, ketika aku belum di baptis menjadi seorang katholik. Aku suka dan  senang sekali kalau orang memanggil nama asliku pitinumalay yang diberikan oleh kakek-ku sejak aku lahir. Karena hal itu akan mengingatkanku pada asalku dan leluhurku. Sebenarnya aku ingin sekali mengatakan kegembiraanku kepada saudaraku Akolly bahwa aku senang kalau dia memanggilku “PITINUMALAY” tapi aku hanya menyimpang perasaan senang itu dalam hati.
“ Ya, tapi aku mau ngomong apa.”? Balasku.
“ Bisa tentang kuliahmu dan kehidupan kota bandung itu gimana?
Akhirnya akupun menceritakan petualanganku selama satu setengah tahun di negeri  seberang sekaligus menceritakan budaya dan kharakterisik masyarakat Bandung (Sunda) yang intinya hampir sama dengan budaya Timor Leste. Akan tetapi Budaya asli orang Sunda mulai terkikis oleh budaya asing karena pada dasarnya budaya gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Sunda sudah hampir tak terlihat lagi. Namun ciri khas masyarakat sunda yang masih kental dan kentara sekali adalah keramah-tamahanya dan kelemah-lembutanya. 
“ Gimana dengan cewek-cewek sundanya, Cantik nggak.”? Tanya-nya lagi.
“ Wahhh, cantiknya minta ampun, yang tidak bisa dilukis oleh kuas pelukis sekaliber manapun.” Kataka-ku singkat. Lalu akhirnya kamipun tertawa bersama-sama. 
“Pity, udah dapat belum cewek sundanya.”?
“ hahahahah….. belum dapat”.
“Kenapa gitu.”?
“ Karena hal  itu tidak terlalu penting, yang penting bagiku adalah hanya focus pada studyku.”
“ Bohong kamu.”
“Benar”.
Hahahahahahahahh……serentak kami berempat ketawa…!!!
Suasana malam itu cukup menyenangkan dan sangat familiar diantara kami berempat. Selepas ceritaku, kami kembali berbincang tetang kehidupan, keluarga, dan sedikit dibumbui dengan cerita-cerita yang berbau cinta. sungguh indah sekali malam itu.
***
Cimahi-Bandung, 22 Oktober 2011

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Keri Laran Sabalae” Nia Istória Luta

Pesona Indah Pulau Jaco

Sebuah Catatan Perjalanan ke Pulau Atauro