Sikap Politik Negara-Negara Anggota Tetap PBB Terhadap Suriah


Prolog

Krisis politik yang melanda Suriah pada maret 2011, sampai saat ini belum menunjukan titik terang. Hal ini di tandai dengan semakin merebaknya perlawanan dari pihak oposisi yang  menuntut Presiden Suriah Bashar al-Assad mundur. Konflik ini sudah berlarut selama tujuh belas bulan lamanya dan kan konflik Suriah dengan jalan mediasi. Sehingga PBB mengutus utusan khususnya Kofi Annan sebagai mediator bagi kedua pihak yang terilibat konflik.  Inisiatif damai yang ditawarkan Annan antara lain, memberikan waktu bagi gencatan senjata pada 10 April lalu, menghentikan pergerakan pasukan pemerintah di pusat-pusat pemukiman warga sipil, penarikan pasukan dan sejumlah senjata berat.[4] Upaya Annan ini diharapkan bisa mengakhiri konflik di Suriah. Terkait dengan hal ini, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dalam peryataanya mengatakan prioritas Annan adalah untuk segera menghentikan semua pertempuran dengan pasukan pemerintah dan pejuang oposisi. Ban menambahkan, gencatan senjata harus segera diikuti dengan pembicaraan politik inklusif untuk menyelesaikan konflik tersebut.[5] 

Tapi sayang, upaya mediasi yang dilakukan Annan tidak membuahkan hasil. Gagalnya upaya mediasi ini disebabkan karena sikap oposisi dan pemerintah menolak seruan Annan untuk berdialog .[6] Alasan Assad menolak berdialog dengan oposisi adalah karena Assad menduga kelompok oposisi telah ditunggangi teroris dan memperoleh kucuran dana dari kekuatan asing dan dalam pertemuanya dengan Annan, Assad menegaskan “ No political dialogue or poitical activity can succeed while there are armed terorist groups operating and spreading chaos and instability” (Reuters, 12/3). [7] Sementara kepala oposisi Dewan Nasional Suriah menyatakan keberatanya untuk berdialog dengan Rezim Assad karena akar masalah selama ini adalah penggunaan kekuatan militer oleh rezim yang luar biasa untuk menghancurkan perbedaan pendapat.[8] Pernyataan ini menyiratkan adanya kebuntuan dialog antara rezim Assad dengan para penentangnya.


Kegagalan  Kofi Annan mewujudkan gencatan senjata untuk mengakhiri konflik kekerasan di Suriah menyebabkan kondisi negara ini semakin tidak menentu dan memungkinkan kekerasan akan terus berlanjut dan akan menelan korban jiwa yang lebih banyak. Memang sebuah upaya penyelesaian konflik hanya akan berjalan efektif apabila ada kemauan politik (political will) dari kedua belah pihak yang bersengketa mau berdialog dan berunding.

Sikap Politik Negara-Negara Anggota Tetap PBB Terhadap Suriah 

Menyikapi konflik Suriah yang telah berlangsung selama setahun lebih ini, telah memaksa lima negara anggota tetap  DK PBB yakni: Amerika Serikat (AS), Inggris, China, Perancis, dan Rusia untuk  mengambil sikap politik. Suara kelima negara anggota DK PBB yang memiliki hak Veto ini tidak bulat dalam menyikapi krisis politik di Suriah. Dimana AS, Perancis, dan Inggris mendukung oposisi Suriah dan mendesak Presiden Assad agar segera meletakan kekuasanya.

Seperti dikutip Press TV , Presiden Prancis Francois Hollande dalam sikap politiknya menegaskan, “satu-satunya solusi untuk memulihkan keamanan di Suriah adalah dengan mundurnya Bashar Al Assad dari tampuk kuasa. Tidak ada solusi politik kecuali Assad menyerahkan kekuasaan.”[9] Hollande juga berjanji akan menyediakan “dukungan yang efektif bagi berbagai upaya yang mendukung Suriah yang bebas, demokratis dan menghormati hak setiap masyarakatnya”.[10] Dan di lain pihak, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton  juga mengeluarkan peryataan politiknya seperti dikutip Associated Press, Sabtu (18/8/2012)  “AS menekankan pentingnya bagi Suriah untuk memiliki sebuah pemerintahan baru yang lebih demokratis.”[11] sedangkan Inggris mengusulkan intervensi militer untuk menyudahi konflik di Suriah.[12]

Sementara  Rusia dan China mengambil sikap yang berlawanan yakni  mendukung kekuasaan Presiden Assad dan memveto resolusi Dewan Keamanan PBB untuk melakukan tindakan keras terhadap Suriah.[13] Kedua negara ini berulang kali bersitegang dengan sesama anggota Dewan Keamanan PBB tentang cara menangani kemelut Suriah. Keduanya menolak upaya Barat yang menekan Presiden Suriah Assad untuk mundur dan menuduh Barat memperpanjang kemelut dengan mendukung pasukan pemberontak.[14]

China dan Rusia juga memveto model penyelesaian konflik lewat intervensi seperti di Libya yang diajukan oleh Dewan Keamanan PBB. Menurut Wakil Direktur Institut Studi Internasional Cina, Dong Manyuan intervensi militer akan membuat gelombang baru kerusuhan di Timur Tengah. Intervensi akan menyebabkan Suriah menderita kerugian lebih besar, seperti di Irak.[15] Terkait dengan hal ini, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov  dalam peryataanya juga menegaskan "Tidak akan ada mandat DK PBB yang mengizinkan intervensi militer dari pihak asing.”[16] Pecahnya suara dalam DK PBB  telah mempersulit langkah PBB untuk melakukan intervensi militer ataupun sanksi terhadap pemerintah Suriah. 

Pembahasan

Penyelesaian masalah konflik Suriah telah memakan waktu yang cukup panjang dan pelik. Hal ini disebabkan karena kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik yakni Rezim Assad dan oposisi bersikeras tidak mau berdialog. Akibatnya korban yang berjatuhan akan semakin bertambah. PBB sebagai organisasi internasional yang di harapkan bisa menyelesaikan masalah ini malah gagal  dalam misinya.sehingga hal ini juga berbuntut pada pengunduran diri Annan sebagai utusan khusus PBB di Suriah.

PBB tidak bisa melaksanakan mandatnya karena suara kelima anggota tetap DK PBB yang memiliki hak Veto tidak bulat dan terpolarisasi dimana China dan Rusia yang mendukung kekuasaan rezim Assad selalu memveto resolusi yang di keluarkan oleh DK PBB. Sehingga upaya penyelesaian masalah mengalami kebuntuan. Jadi, ada kemungkinan besar negara-negara barat yang di komandoi  Amerika Serikat (AS) akan melakukan intervensi militer sepihak terhadap Suriah walaupun tidak mendapat restu dari DK PBB. Jika sampai hal itu terjadi maka nasib Suriah akan sama seperti Irak dan Libya yang di bombardir oleh Militer Asing.

Sebagaimana yang termuat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (1945) prinsip-prinsip utamanya melarang pengunaan gengsi antar negara dan tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. Penggunaan kekerasan hanya di ijinkan secara internasional hanya jika terjadi pelanggaran atas larangan agresi.[17] Walau hukum internasional sebagai acuan dalam pergaulan internasional, akan tetapi acap kali negara-negara besar tidak mengindahkanya. Contoh yang nyata adalah intervensi militer NATO terhadap rezim Saddam di Irak dan Khadafi di Libya.

Pemimpin Suriah, Assad memiliki kharakteristik serupa dengan Khadafi yang bersikeras tidak mau mundur walaupun desakan datang bertubi-tubi dari rakyat maupun dari negara-negara Barat. Assad tetap saja berupaya untuk mempertahankan kekuasaanya. Mengutip Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial, “...Dalam situasi seperti ini, apapun yang akan dikatakan, direncanakan, dan dilakukan oleh penguasa tidak akan dipercaya lagi oleh masyarakat. Ketidakpercayaan rakyat terhadap aparat-aparat negara disebabkan mereka dianggap telah mempermainkan moralitas, melakukan hipermoralitas.”[18] Dengan kata lain Assad  sudah ternoda oleh kekerasan luar biasa yang di lakukan militer pendukungnya terhadap warga sipil  sehingga upaya apapun yang akan di lakukan oleh Assad untuk mengamankan kekuasanya tidak akan bisa membendung Api revolusi yang berkobar di Suriah.

Ketidakpercayaan ini membuat kekuasaan Assad semakin melemah. Hal ini ditandai dengan adanya pembelotan  sejumlah pejabat pemerintahannya, seperti Duta besar Suriah untuk Irak Nawaf Fares, Deputi Menteri Perminyakan Abdo Husameddin dan komandan Garda Republik Brigadir Jenderal Manaf Tlass, yang juga orang dekat Assad telah berpihak ke kubu oposisi. Ini mengindikasikan kekuasaan Assad tidak akan bertahan lama lagi.  Cepat atau lambat Assad akan di lengserkan oleh rakyat yang  tergabung dalam kubu oposisi atau Assad akan di jatuhkan melalui Intervensi militer NATO. Oleh karena itu langkah yang baik adalah Assad mundur dari tampuk kekuasanya jika tidak ingin mengalami nasib sama dengan Saddam dan Khadafi.

Epilog

Penyelesaian konflik Suriah mengalami kebuntuan disebabkan karena dua hal. Pertama, Pihak-pihak yang bersengketa kita mau menempuh jalur Dialog untuk menyelesaikan permasalahan, akibatnya konflik semakin berlarut dan berkepanjangan  sehingga korban jiwa yang berjatuhan akan bertambah. Kedua, adanya pengaruh dari negara-negara besar yang memberikan dukungan kepada pihak yang bersengketa yakni Pemerintah dan Oposisi sehingga membuat konflik Suriah semakin berkepanjangan. Oleh karena itu diperlukan sikap yang tegas, jujur dan adil dari negara-negara besar yang berpengaruh untuk mendesak pihak yang bertikai agar mau beruding. Instrumen ini perlu agar menghindari intervensi militer asing. Tanpa adanya hal tersebut, persetujuan apapun yang di capai, tidak akan memberikan perbaikan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Akibatnya, masyarakat dunia masih akan terus menyaksikan tragedi kemanusian yang meyakitkan dan menyayat hati. 


Footnote[1] Rizki Gunawan dan Vincent Hakim, “Api Kekerasan di Suriah, Sampai Kapan?”, terdapat dalam http://berita.liputan6.com/read/393834/api kekerasan disuriah sampai kapan/ diakses pada tanggal 23/08/2012
 [2] Linggawaty Hakim, “Kepatuhan Negara Terhadap Hukum Internasional,” dalam Hubungan Internasional:Percikan Pemikiran Diplomat Indonesia, Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. Hal, 213.
[3] Ibid.
 [4] Khairisa Ferida, “Krisis Suriah Dipicu Sikap Represi Rezim Assad”,terdapat dalam http://international.okezone.com/read/2012/08/16/412/678757/krisis-suriah-dipicu-sikap-represi-rezim-assad/diakses pada tanggal 18/08/2012.
[5] Johannes Sutanto de Britto, “Kofi Annan Bertemu Assad, Oposisi Tolak Dialog”, terdapat dalam http://jaringnews.com/internasional/timur-tengah/11410/kofi-annan-bertemu-assad-oposisi-tolak-dialog/dikases pada tanggal 23/08/2012
[6] Ibid.
[7] “Skenario Masa Depan Suriah”  terdapat dalam http://asamba.blogspot.com/2012/03/skenario-masa-depan-suriah.html/  diakses pada tanggal  20/ 08/2012.
[8] Op.Cit. Johannes Sutanto de Britto, “Kofi Annan Bertemu Assad, Oposisi Tolak Dialog”
 [9]  “Prancis: Assad Harus Serahkan Kekuasaan”,  terdapat dalam http://id.berita.yahoo.com/prancis-assad-harus-serahkan-kekuasaan-044202572.html
[10] “Hollande Sampaikan Kembali Dukungan Bagi Oposisi Suriah”, terdapat dalam http://id.berita.yahoo.com/hollande-sampaikan-kembali-dukungan-bagi-oposisi-suriah-052217494.html
[11] Khairisa Ferida, “Keterlibatan AS dalam Krisis Suriah” terdapat dalam  http://international.okezone.com/read/2012/08/16/412/678794/keterlibatan-as-dalam-krisis-suriah
 [12] http://id.berita.yahoo.com/prancis-assad-harus-serahkan-kekuasaan-044202572.html
 [13] ibid
[14] “Cina akan Bantu 30 Juta Yuan untuk Pengungsi Suriah”, terdapat dalam http://m.skalanews.com/baca/news/3/0/121183/internasional/cina-akan-bantu-30-juta-yuan-untuk-pengungsi-suriah.html
[15]      “Intervensi bukan solusi bagi krisis Suriah”, terdapat dalam  http://jakarta.okezone.com/read/2012/06/12/468/645832/intervensi-bukan-solusi-bagi-krisis-suriah
[16] Khairisa Ferida, “Rusia Pasang Badan untuk Suriah” terdapat dalam http://international.okezone.com/read/2012/08/16/412/678782/rusia-pasang-badan-untuk-suriah
[17]  Jan P. Pronk, Pertikaian Merebak Dunia, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 1994. Hal, 57.
[18] Yasraf Amir Piliang. 2003.  Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial, Penerbit: Tiga Serangkai Solo, Hal, 275.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Keri Laran Sabalae” Nia Istória Luta

Pesona Indah Pulau Jaco

Sebuah Catatan Perjalanan ke Pulau Atauro