Sebuah Catatan Perjalanan ke Pulau Atauro
Akhirnya keinginanku untuk mengunjungi pulau Atauro bisa terwujud
dan aku dapat berkunjung ke pulau kecil yang terletak di sebelah utara kota
Dili itu. Rasanya meyenangkan sekali. Sebelumnya aku hanya dapat menyaksikan
pulau itu dari jauh dan juga Cuma mendengar cerita keindahanya dari beberapa
temanku yang sudah pernah berkunjung kesana. Memang sudah lama aku berencana
ingin sekali kesana tetapi selalu batal lantaran kesibukan aktivitas
hari-hariku.
Memang dua hari lalu temanku, kiki, menghubungi aku bahwa dia sudah
membeli tiga tiket Dili-Atauro untuk aku, dia dan Gress. Jadi, ia meminta
kepastianku. Dengan senang hati aku langsung bilang kalau besok sudah pasti aku
ikut. Akhirnya pada hari sabtu pagi, pukul : 09.15, kapal penumpang “Nakroma”
yang kami tumpangi melaju dengan perlahan menuju pulau Atauro.
Suasana di atas kapal Nakroma penuh sesak oleh para penumpang yang
begitu padat. Aku dan kedua temanku: Kiki, Gress mengambil tempat duduk yang
posisinya berhadapan langsung dengan sebuah bilik kecil yang khusus menjual
minuman. Dari daftar menu minuman yang tertulis itu: ada kopi dan mie pop.
Rupanya banyak penumpang yang antrian memesan minuman kopi panas dan pop mie.
Lantas aku-pun memesan kopi panas buat kami bertiga. Dan kami sepakat untuk
ngopi di luar.
Ah… rasanya menyenangkan sekali duduk diluar sambil menikmati kopi
hangat bersama kedua temanku. Kami menghabiskan waktu dua jam mengamati
hamparan lautan yang luas nan teduh dan melihat riak gelombang air laut
bergulung-gulung di sekitar kapal. Di tegah lautan kita dapat menyaksikan
deretan gundukan bukit-bukit kecil yang berdiri kokoh memagari Kota Dili.
Sungguh indah. Indah sekali pemandangan
Kota Dili bila dilihat dari tengah lautan. Semakin kapal mendekat ke atauro
semakin jauh kota Dili. Perjalanan ini membutuhkan waktu dua jam untuk sampai
di Atauro.
Pukul 11.00, kapal Nakroma bersandar di pelabun Gress ikut turun
bersama penumpang lainya. Ini pertama
kalinya, aku meginjak kaki-ku di pulau atauro. Suasana disepanjang pesisir pantai
yang kurang lebih setengah kilometer itu terlihat begitu riuh dengan aktivitas
penduduk local yang melakukan transaksi jual beli. Temanku Kiki mengatakan
padaku bahwa: “ini adalah “pasar tradisional”. “Pasar ini tidak diadakan setiap
hari tapi hanya di buka pada hari Sabtu pagi sampai Sore.” Jadi, pasar ini dibuka hanya sekali dalam
seminggu.
Bila hari Sabtu tiba, masyarakat Atauro yang terdiri dari lima
desa, semuanya akan datang dan menjajakan jualanya di sini. Karena mata
pencaharian utama masyarakat setempat adalah ikan, maka kebanyakan dari mereka
menjual ikan kering, ikan bakar, rumput laut (budu tasi) dan juga berbagai
macam pernak-pernik yang di buat dari kulit Penyu. Harganya rata-rata berkisar
dari 2 dollar sampai 5 dollar. Biasanya para pelancong (turis) dari manca
Negara maupun local membeli aksesoris ini sebagai oleh-oleh atau cindra mata
dari pulau Atauro.
Sepertinya belum lengkap kalau berkunjung ke pulau Atauro tanpa
mencicipi ikan bakar ala Atauro.
Akhirnya aku dan kedua temanku, Kiki, dan
Gress memasuki sebuah tenda kecil yang menyediakan Ikan bakar dan ketupat. Dengan
rasa lapar yang tak tertahankan, kami-pun langsung mencicipi ikan bakar plus
ketupat yang tersaji di meja. Hmm.. “enak sekali..” kata temanku Gress dan
akupun membenarkan ucapanya itu. Selepas makan, kami mandi air laut sambil berenang dan merasakan sentuhan
kehangatan air laut. Hampir sejam kami berada dalam air laut.
Komentar